Dr Mafri Amir, M. A Dosen Tafsir UIN Jakarta: "Kerja Keras Pantang Menyerah"

Menjadi seorang pengajar yang senantiasa mendedikasikan ilmunya untuk orang lain adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Semakin banyak memberi, maka semakin banyak pula kita menerima. Prinsip demikian tentu sangat baik untuk diterapkan dalam diri setiap pengajar. Seorang dosen merupakan pengajar yang ilmunya harus mumpuni dan dihormati oleh mahasiswanya. Ia menjadi teladan bagi mahasiswa. Bagaimana rasanya menjadi dosen? Berikut wawancara Devy Cahyo Puspita dengan dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Dr Mafri Amir, M. A di ruang kelas 5.14, Kamis (11/10). 

Bagaimana perjalanan hidup Anda hingga akhirnya memutuskan menjadi dosen?

Perjalanan hidup saya sangat berliku dan panjang. Awalnya, setelah tamat pondok pesantren bapak saya memutuskan agar saya tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena tidak ada biaya. Karena itu, lulus dari pondok, saya sempat ke ladang selama satu tahun. Saking inginnya saya kuliah, setiap hari saya mencangkul sambil menangis. Sampai suatu hari, teman saya dari pondok datang dan mengajak saya daftar kuliah. Saya bilang, “kita nggak punya duit.” Dia bilang, “daftar aja dulu, nanti kalau sudah lulus mau langsung kuliah atau tidak itu persoalan kedua.” Akhirnya kami daftar kuliah dan lulus seleksi. Kawan saya itu tidak jadi kuliah karena dipaksa orang tuanya melanjutkan bisnis keluarganya. Sedangkan saya akhirnya tetap kuliah dengan modal menjual mesin jahit dan berhutang dengan jaminan sawah. Kemudian sambil kuliah saya ngajar ngaji ke masjid dan rumah-rumah. Bahkan, saya menginap di masjid selama kuliah di IAIN Imam Bonjol, Padang. Lalu saya ikut kursus jurnalistik dan langsung jadi wartawan. Setelah 15 tahun bergelut di dunia jurnalistik, kemudian saya banting setir menjadi dosen.

Wah, Anda pernah jadi wartawan?
Iya, saya pernah jadi wartawan dari tahun 1979-1994. Saya sempat menjadi wartawan di harian Semangat dan majalah Pandji Masyarakat milik Buya Hamka. Awalnya ketika bapak saya tahu saya jadi wartawan, beliau marah. Orang tua ingin saya jadi mubaligh. Kemudian saya bilang saja, jadi wartawan sama mubaligh sama-sama berdakwah. Kalau mubaligh lewat mulut dan hanya di mimbar saja, beda sama wartawan yang berdakwah lewat tulisan. Tulisannya bisa dibaca jutaan orang, bahkan ribuan. Akhirnya bapak saya setuju dan mendukung.

Pengalaman apa saja yang Anda dapat selama jadi wartawan?  
Wah, banyak sekali. Saya sering dikirim liputan ke luar negeri, ke Asia Tenggara. Saya bertemu banyak orang hebat dan mendapat banyak pengalaman. Sekarang banyak teman-teman saya yang dulu di dunia jurnalistik, mereka jadi orang hebat, pemimpin media-media di Sumatera Barat, kerja di media TV, koran, dan majalah.

Kemudian apa yang menyebabkan Anda berpindah profesi dari seorang wartawan menjadi dosen?
 Karena panggilan hati. Dosen kan pekerjaan yang mulia. Saya ingin mengawinkan keterampilan jurnalistik yang saya miliki dengan akademik yang ada di dosen. Dengan itu, saya bisa menulis banyak buku dan menyampaikan ilmu yang saya punya kepada anak murid saya. Pahalanya akan terus mengalir.

Buku apa saja yang sudah Anda tulis? 
Buku pertama saya judulnya Etika Komunikasi dalam Pandangan Islam, terus ada juga yang judulnya Suluh Melayu. Ada sekitar delapan buku, tapi saya lupa judulnya. Buku terakhir saya berjudul Literatur Tafsir Indonesia.

Bagaimana rasanya menjadi dosen?
Saya merasa sangat beruntung menjadi dosen. Di satu sisi saya membagi ilmu saya, tapi ilmu saya juga terus bertambah. Berkah sekali rasanya. Menjadi dosen kita bertemu dengan berbagai mahasiswa dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, banyak mahasiswa yang kritis bertanya sehingga membuat dosen juga harus semakin banyak belajar. Sebagai dosen, kita harus banyak bergaul dengan mahasiswa, jangan sampai membuat mahasiswa itu jenuh, nanti ilmu kita tidak sampai ke mereka. Selain itu jadi dosen juga waktunya longgar, beda dengan pegawai kantoran yang harus masuk setiap hari. Enak deh pokoknya jadi dosen itu!

Selain jadi dosen, apa kegiatan Anda lainnya? 
Selain dosen, saya pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang kerukunan antarumat beragam, pengurus forum Islamic Center Indonesia (ICI), pembina kesenian etnik Minang di Jakarta, dan anggota paguyuban warga Minangkabau.

Ternyata banyak sekali ya kegiatan Anda. Bagaimana caranya membagi waktu dengan keluarga? 
Tentu keluarga yang utama bagi saya. Akhir pekan adalah wktu saya untuk berkumpul dengan istri dan anak saya yang paling bontot. Anak pertama saya, Ahmad Zaki, sudah berkeluarga dan tinggal di Bekasi. Anak kedua saya, Rifa, sedang menyelesaikan kuliah S2 di Malaysia. Jadi saya tinggal bertiga dengan istri dan anak ketiga saya, Shofi. Dia masih kuliah S1 di UIN, jurusan perbankan syari’ah.

Apa harapan Anda ke depan? 
Harapan saya sekarang tinggal anak-anak saya. Bagaimanapun saya ingin mereka seperti bapaknya menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ilmu itu sangat penting. Tanpa ilmu, kita bukan siapa-siapa.

Apa motto hidup Anda? 
Kerja keras, usaha terus pantang menyerah. Masalah hasil belakangan, yang tepenting kita harus terus berjuang, terutama di jalan dakwah.

Menulis sebagai jalan dakwah

Ada 3 jalan dalam dakwah. Dakwah bil qolam (dakwah dengan tulisan), dakwah bil lisan (dakwah dengan ucapan), dan dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan). Masing-masing tentu memiliki keunggulan tersendiri.




Salah satu jalan dakwah yang populer di era informasi ini adalah dakwah bil qolam. Kata ‘qolam’ merujuk pada firman Allah SWT dalam surat Al-Qolam ayat 1 yang artinya, “Nun, perhatikanlah Al-Qolam dan apa yang dituliskannya”. Al-Qolam diterjemahkan sebagai pena. Jadi, dakwah bil qolam merupakan dakwah dengan menggunakan pena atau alat untuk menulis yang maksudnya adalah dakwah melalui tulisan.


Tulisan dapat menjadi jalan dakwah bagi seseorang yang amalnya akan terus mengalir. Melalui tulisan, seseorang dapat membagi ilmu yang dimiliki. Jika tulisan tersebut didokumentasikan, bisa jadi akan terus ada melintasi zaman dan tak lekang oleh waktu. Selain itu, dakwah melalui tulisan lebih dapat dipertanggungjawabkan dan lebih sistematis.


“Tulisan dapat mengubah banyak hal. Jika bicara, mungkin 1-2 jam kemudian orang akan lupa, namun jika melalui tulisan, sampai kapanpun orang bisa mengingatnya dengan membaca kembali. Sebagai contoh, Al Qur’an. Seandainya Al Qur’an dihafalkan saja tanpa ditulis, tentu kita akan kesulitan. Makanya ada inisiatif dari para sahabat untuk menulis Al Qur’an dalam satu mushaf yang berserakan dan akhirnya dikumpulkan sehingga generasi kita masih dapat membacanya secara utuh karena ditulis,” jelas Dosen Jurnalistik UIN Jakarta Rulli Nasrullah, M.Si.


Kang Arul berpendapat, sistem pendidikan di Indonesia tidak mengajarkan orang untuk dekat dengan buku dan suka menulis. Bagaimana tidak, sebagai contoh anaknya yang masih duduk di kelas 4 SD sudah harus menghadapi 14 pelajaran. Dengan beban pendidikan yang sedemikian berat, sudah pasti menguras energi. Tidak hanya SD, SMP, SMA, bahkan tingkat universitas, pengajarnya lebih mengarahkan untuk menghafal dibanding menulis dan membaca. Belum lagi harga buku di Indonesia yang terbilang cukup mahal.


Tak hanya itu, mungkin bagi orang yang tinggal di perkotaan, buku mudah didapat. Berbeda halnya dengan mereka yang di daerah-daerah, akses terhadap sumber bacaan masih minim. Beberapa program pemerintah, seperti internet masuk kecamatan, internet masuk kelurahan, merupakan salah satu langkah yang bagus untuk mengembangkan minat baca dan menulis.


Menurut pria asal Cimahi ini, dalam mengatasi hal tersebut perlu langkah-langkah untuk mendorong semangat baca dan tulis. Pertama di mulai dari rumah. orang tua harus menciptakan suasana yang kondusif untuk membaca dan menulis. Sediakan perpustakaan dan ajarkan anak untuk suka membeli buku. Kedua, sekolah harus turut mendukung dengan cara tidak membebani anak dengan pelajaran dan tugas yang terlalu banyak. ketiga, pola pendidikan harus diubah.


“Jangan hanya sekadar melihat nilai yang sifatnya kuantitatif, tapi lebih kepada kualitas diri seseorang. Orang yang bagus di bidang seni dan kurang di bidang ilmu eksak, tidak bisa dibilang tidak pintar. Tidak semua orang memiliki kemampuan belajar yang sama. Selain itu faktor lingkungan juga sangat berpengaruh dalam meningkatkan minat baca-tulis. Semuanya harus terintegrasi untuk membangun generasi yang suka membaca dan menulis,” jelasnya.


Menulis itu mudah..


Banyak sekali orang yang ingin menulis dengan sekali duduk langsung menghasilkan 10-30 halaman. Tapi tidak bagi pria yang berprofesi sebagai dosen, penulis, sekaligus wartawan ini. Menurut dia, menulis itu harus sedikit tapi disiplin. Jika sedikit tapi terus dilakukan secara rutin, kemudian akan menjadi sebuah kebiasaan. Karena faktor kebiasaan itulah, semakin diasah semakin mudah menulis.


Agar lebih mudah, sebelum memulai menulis harus diawali dengan pra-menulis. Artinya, sebelum menulis harus melakukan riset. Riset diperlukan sejauh mana data yang ingin kita tampilkan dalam tulisan. Ada riset yang membutuhkan banyak biaya, ada juga yang tidak. “Dalam menulis ada yang disebut tabel naskah. Itu adalah tabel yang memuat daftar pertanyaan yang muncul dalam naskah kita, termasuk sasaran pembaca dan penerbit. Dengan begitu kita tahu yang ingin kita riset.”


Kemudian, lanjut Kang Arul, menulis harus sesuai dengan dunianya. Jika wanita, sebaiknya menulis tentang dunia wanita. Menulis yang bukan bidangnya memerlukan observasi yang mendalam, sehingga akan menyulitkan. Sedangkan menulis sesuai dunianya, akan lebih mudah karena tahu apa yang akan ditulis. Terakhir, disiplin dan ada target. Kebanyakan penulis pemula baru menulis sekian halaman sudah berhenti karena mandek dengan tulisannya. Jika hal ini terus dibiarkan, justru akan menjadi virus.


Kalau sudah mandek, bagaimana dong Kang Arul?


“Seperti yang saya katakan tadi, risetnya harus kuat. Kalau Kang Arul nulis, nggak bisa buka komputer langsung nulis biarpun ada ide. Saya tulis dulu di satu folder, saya pikirkan dulu datanya apa. Kalai perlu, saya setting, saya tulis, searching, taruh dulu semuanya dalam satu folder. Kalau datanya sudah lengkap, baru saya mulai menulis,” ujar pria kelahiran 18 Maret 1975 ini.


Kang Arul menjelaskan, ada dua tipe manusia. Ada manusia yang memiliki kemampuan menulis karena bakat bawaan dari keturunannya, ada juga manusia yang pandai menulis karena pengaruh lingkungan. Meskipun kita tidak dapat mengingkari bahwa setiap manusia diciptakan Allah SWT dengan fitrahnya masing-masing. Salah satu fitrah tersebut ada yang berupa kemampuan untuk menulis. Meskipun orang tuanya tidak suka menulis, si Anak bisa jadi sangat menyukai dunia tulis-menulis karena memang fitrahnya demikian.





Lain halnya dengan orang yang menulis karena faktor lingkungan. Sebuah pepatah mengatakan, jika berteman dengan penjual minyak wangi, kita akan tertular wanginya. Jika kita bergaul dengan orang-orang yang suka menulis, maka lambat-laun kita juga akan suka menulis. Jadi, dapat dikatakan bahwa sebenarnya semua kemampuan di dunia ini dapat dipelajari asal ada kemauan dan usaha yang keras. Jadi, tunggu apalagi? Ambil penamu dan mulai berdakwah!




Tips-tips Kang Arul Agar Tulisan Tembus ke Media :


1. Lakukanlah riset! (Cari tahu secara mendalam tema yang diangkat dalam sebuah media)


2. Perhatikan sasaran pembaca dari media tersebut! (Contoh: Majalah remaja, tentu sasaran pembacanya adalah remaja, gaya penulisan harus disesuaikan)


3. Sesuaikan dengan ruang penulisan yang disediakan! (Jika media hanya meminta Anda untuk mengisi 2000 karakter, jangan dilebihkan atau bahkan dikurangi dengan jumlah yang sangat banyak!)


4. Berdo’a, bersabar, tawakal, dan ikhlas! (^^)v

Guru Kreatif Susah-susah Gampang


“Menggandeng tangan, membuka pikiran, menyentuh hati, membentuk masa depan. Seorang guru berpengaruh selamanya. Dia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir.” (Henry Adam)

Seorang pengajar atau guru adalah pemegang peran penting kedua dalam dunia pendidikan setelah orang tua. Anak-anak cenderung menghabiskan sebagian waktunya di lingkungan sekolah, sehingga guru menjadi sentral penting yang membentuk karakter anak. Bahkan, ada adagium yang berbunyi “Jika baik guruku, baik pula lah aku (murid).”

Menghadapi anak-anak dengan watak dan tabiat yang berbeda-beda tentu bukanlah perkara mudah. Tugas guru ialah menurunkan ilmu kepada anak muridnya. Namun, tentu saja daya tangkap setiap anak berbeda. Di sanalah tantangan berat seorang guru. Guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam mendidik supaya muridnya tidak jenuh apalagi sampai malas.

“Menjadi guru yang kreatif itu mudah. Kuncinya ada dalam diri individu guru itu sendiri. Misalnya saja, kita bisa menggunakan media pembelajaran yang bervariatif dan tidak monoton. Selain itu, ada juga teknik dan strategi pembelajaran. Semuanya bisa dikolaborasikan supaya pembelajaran di kelas menarik dan tidak membuat siswa boring,” jelas Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Dra Hindun, beberapa waktu lalu.

Hindun menambahkan, kreativitas guru tidak perlu harus selalu terbatas dengan materi. Ilmu itu luas dan tak berbatas. Guru bisa memanfaatkan barang-barang yang ada di sekitarnya. “Contohnya kalau di pantai, guru bisa mengajak anak muridnya membuat barang-barang kerajinan dengan kerang dan batu-batuan,” tambahnya.

Hal berbeda disampaikan Dosen Bahasa Inggris UIN Drs Nasrun Mahmud. Ia menyayangkan nasib guru di Indonesia yang pendapatannya tidak sebanding dengan pekerjaan mereka. “Oleh sebab itu, banyak sekali guru yang tidak hanya mengajar di satu tempat. Mereka mencari pekerjaan tambahan untuk menghidupi keluarganya,” terang pria kelahiran Bangkinang, 23 November 1943 ini.

Syarat menjadi guru yang baik, lanjut Nasrun, ialah mengenal baik anak didiknya. Tapi, karena guru sibuk mencari penghasilan tambahan di tempat lain, guru jadi tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal muridnya satu persatu. “Agar guru kreatif mudah saja, tapi syaratnya yang susah. Naikkan pendapatan agar guru bisa fokus ke anak didiknya, berikan jaminan karir, dan ciptakan suasana kerja yang nyaman,” ujar Nasrun.

Wah, jadi bagaimana? Tidak mudah bukan jadi pengajar itu? Tantangan dan godaannya banyak. Makanya nih buat para pelajar, mari kita hormati dan sayangi para pengajar kita supaya ilmunya berkah. Dengan proses belajar yang menyenangkan, tentu anak-anak akan dengan mudah menyerap pelajaran. Finally, hasil yang didapat ialah meningkatnya prestasi belajar siswa. Siapa sih yang nggak mau berprestasi?

Prof Dr Komarudin Hidayat : Tanamkan Cinta Ilmu dan Tradisi Belajar!


Dalam kurun waktu satu bulan, dua nyawa meregang sia-sia akibat tawuran antar pelajar. Harian-harian ibukota ramai menjadikan kasus ini sebagai headline sehingga masyarakat pun menjadikannya sebagai agenda publik yang kerap dibicarakan dalam keseharian. Alawy Yusianto Putra (15) siswa SMA Negeri 6 Jakarta Selatan dan Deni Januar (17) siswa SMA Yayasan Karya 66 Jakarta Timur, dua pelajar yang harus menjadi korban tawuran dan merelakan masa depannya hilang begitu saja. Berbagai pendapat para ahi mencoba mengkritisi penyebab kebrutalan remaja-remaja kini.

Rektor UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat ikut angkat bicara terkait dengan tawuran yang marak terjadi. “Indonesia adalah bangsa yang plural. Sejarah dan tradisi persaingan sudah berlangsung sejak lama. Sebagai negara yang plural, gesekan-gesekan tidak dapat dihindari,” kata Rektor.

Ia berpendapat, ketika aparat pemerintah dan hukum melemah, sementara ruang demokrasi kian melebar, maka masyarakat semakin bebas menyuarakan aspirasinya. Kaum yang merasa hak-haknya tertindas, dirampas, dan didzalimi memiliki kebebasan untuk berekspresi. Gesekan-gesekan horizontal banyak terjadi, seperti sikap ekstrimisme antar pendukung sepak bola, antar kampung, dan antar elit politik, sementara wibawa presiden semakin turun karena belum berhasil memberantas korupsi. Situasi ini menjadi contoh yang tidak baik bagi dunia pendidikan.

“Jumlah penduduk yang semakin banyak, macet dimana-mana, potret kehidupan sosial politik yang buram, peredaran narkoba, kecelakaan karena tindakan indisipliner,dan muncul mal-mal yang merangsang hidup konsumtif serta hedonis. Semua itu menciptakan anak-anak dengan sifat yang mudah marah,” terang rektor yang akrab disapa Pak Komar ini.

Rektor menyayangkan sikap pemerintah yang ingin praktis dengan cara menyeragamkan sistem pendidikan di Indonesia, standar kelulusan yang berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN) misalnya. Padahal, setiap daerah memiliki standar kemampuan yang berbeda-beda yang tidak mungkin bisa untuk dipukul rata. “Orientasi sistem pendidikan kita lemah, hanya berfokus pada angka-angka. Yang dinilai adalah hasilnya, bukan proses dan tidak diajarkan untuk mencintai ilmu. Kalau dulu kita diajarkan bahwa ujian itu bagian dari belajar, sekarang itu belajar untuk ujian,” ujar pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953.

Indonesia memiliki banyak model pendidikan yang bagus, pesantren salah satunya. Hukum yang diberlakukan di pesantren tegas. Siapa yang ikut tawuran, langsung dikeluarkan. Selain itu, di pesantren juga ditanamkan cinta ilmu. Saat ini, sudah mulai banyak model-model sekolah pesantren yang dimodernisasi. “Kalau saja pemerintah mau menghargai dunia pesantren dengan cara dikembangkan pendidikan modern, sains dimasukkan dalam pesantren, itu akan sangat bagus. Tapi, pemerintah terkesan sibuk dengan dunianya sendiri. Pesantren yang ada di Indonesia saja 90% milik swasta,” kata pria jebolan Pesantren Modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971).

Rektor menegaskan, character building, sikap cinta ilmu, dan tradisi belajar penting untuk ditanamkan di sekolah. Perlu ada school culture atau budaya sekolah yang baik seperti suasana belajar yang nyaman, sehingga membuat siswa betah dan senang untuk belajar. Selain itu, harus ada inspiring teacher atau guru yang menginspirasi. “Indonesia mengalami krisis guru, sedikit sekali guru yang bisa menginspirasi muridnya,” katanya.

Wilayah Indonesia sangat luas dan memiliki banyak sekolah dengan kisah sukses yang beragam. Sekolah-sekolah yang memiliki kisah sukses tersebut dapat dijadikan contoh bagi sekolah-sekolah lainnya. “Mana sekolah yang bagus diangkat, kekurangannya dibenahi, dan dicontoh,” tutup mantan Ketua Panwaslu Pemilu 2004 ini.

Sabiran Faridamos, Mahasiswa dan Politik

Siapa bilang semua mahasiswa pasif dan cenderung tidak mau ambil pusing tentang perpolitikan? Hal ini tidak berlaku untuk mahasiswa satu ini. Dia peduli banget sama perpolitikan yang ada di Negeri Indonesia tercinta. Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan pula cara untuk melakukan perubahan.

Setelah puas melalang buana di Sulawesi Tengah, akhirnya ia memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, pusat segala perpolitikan Indonesia. Menjadi aktivis kampus sudah pernah ia lakoni, namun ia merasa kurang efektif. Pindah ke Jakarta, membuatnya mengubah pergerakan yaitu melalui media massa. Siapakah dia?

Bernama lengkap Sabiran Faridamos, kuliah di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dan duduk di semester 5 jurusan Ilmu Politik. Segudang penghargaan dan prestasi telah diraih, tapi saking rendah hatinya ia nggak mau diekspos. Katanya sih cukup off the record aja. Ketika pertama bertemu, saya sudah dapat mengambil kesimpulan kalau karakternya supel dan cerdas.

Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia sudah menyukai dunia politik. Banyak buku-buku perpolitikan yang sudah ia lahap. Sampai akhirnya ia menelurkan bukunya sendiri dengan judul Negara ‘katanya’. Buku ini berisi tentang analisis wacana terhadap segala bentuk tekstur dan kontur perpolitikan yang ada. Semua bahasan dalam buku yang ia garap ini merupakan hasil pemikiran dia sendiri loh, berdasarkan pengalaman dan pengamatan dalam perjalanan hidupnya. Semua terangkum dalam 472 halaman. Hebat ya?

Tidak hanya melalui buku, dia juga penggerak berdirinya Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik atau lebih dikenal dengan LPM FISIP UMJ. “Politik dan media itu tidak dapat dipisahkan. Sehebat apapun kita berwacana politik, tapi jika hanya dikonsumsi dalam komunitas tidak akan menghasilkan perubahan. Kita butuh media untuk menyuarakan pendapat kita,” kata cowok yang akrab disapa ‘Sabir Gondrong’ ini.

Teman-teman tertarik dengan dunia politik? Nggak ada salahnya dong sharing-sharing sama dia. Main aja ke kampus UMJ terus ke FISIP dan ajak kenalan deh. Lumayanlah dapat banyak ilmu politik dari dia.

Tawuran Pelajar, Potret Buram Pendidikan


Dalam kurun waktu satu bulan, dua nyawa meregang sia-sia akibat tawuran antar pelajar. Harian-harian ibukota ramai menjadikan kasus ini sebagai headline sehingga masyarakat pun menjadikannya sebagai agenda publik yang kerap dibicarakan dalam keseharian. Alawy Yusianto Putra (15) siswa SMA Negeri 6 Jakarta Selatan dan Deni Januar (17) siswa SMA Yayasan Karya 66 Jakarta Timur, dua pelajar yang harus menjadi korban tawuran dan merelakan masa depannya hilang begitu saja. Bahkan, berdasarkan data Kompas, sepanjang tahun 2012 sudah ada 18 kasus perkelahian di kalangan pelajar di Jabodetabek yang mengakibatkan korban luka ataupun tewas. Miris! Mereka yang berseragam sekolah dan mengenyam bangku pendidikan justru terlibat aksi kekerasan yang sama sekali tidak bermoral. Jika zaman dulu para pelajar kompak mengangkat senjata bersama dengan aparat keamanan demi melawan penjajah, kini para pelajar justru mengangkat senjata untuk melawan sesama pelajar dan aparat keamanan. Mereka tak segan dan tak ragu melukai lawannya. Kejadian demikian tentu tidak masuk akal dan sulit dianalisis penyebabnya. Teknologi yang kian hari kian maju tak jadi jaminan masyarakatnya kian berkembang. Yang terlihat di lapangan, terutama di kalangan pelajar, kemajuan zaman justru menyebabkan mereka kian primitif dan kerdil dalam hal pengelolaan emosi.

Menurut saya, maraknya kasus tawuran yang berujung pada kematian ini merupakan bentuk kegagalan berbagai pihak, terutama penyelenggara pendidikan. Kegagalan orang tua dalam membina dan membentuk karakter anak, kegagalan sekolah untuk mendidik anak muridnya, kegagalan dinas pendidikan sebagai pemegang otoritas. Sistem pendidikan yang ada saat ini terlalu berfokus pada pelajaran-pelajaran umum, sementara pendidikan karakter dan pelajaran agama sangat minim. Ditambah lagi sekarang sudah masuk era globalisasi. Dengan adanya internet, muncul istilah global village. Tidak ada lagi batasan antar daerah, ataupun negara, semua terhubung menjadi satu. Beragam budaya dan informasi bebas bermunculan. Pengaruh positif dan negatif berbaur, semua kembali lagi pada individu yang menyerapnya. Rasanya wajar jika generasi muda yang tidak dididik dengan baik dari kecil, mereka jadi lebih banyak terbawa arus negatif. Selain itu, budaya yang ada di saat ini mengajarkan masyarakat untuk hidup matrealistis dan hedonis. Kesuksesan dinilai berdasarkan materi, sehingga jiwa-jiwa mereka kosong. Tak heran, kekerasan makin berkembang.

Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menyatakan, lingkungan dari rumah hingga sekolah memberikan andil terhadap perilaku anak. Remaja butuh diakui, beraktualisasi, mereka mencari tempat, dan itu bisa positif ataupun negatif, tergantung dari lingkungan.[1]

Sebagaimana diungkapkan psikolog forensik Arif Nurcahyo, terdapat dua perspektif dalam tawuran, yakni perspektif psikologi remaja dan psikologi massa. Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional, dan tindakan sugestif.[2]

Pendidik Arief Rachman sebagaimana dilansir pada harian Kompas, menyatakan, penyebab tawuran, antara lain pelaku atau anak yang terlibat memang anggota kelompok atau geng, tidak ada lahan untuk aktualisasi diri, dan tradisi buruk yang terus diturunkan. Ini terjadi karena manajemen sekolah mulai dari kepala sekolah, guru, komita sekolah, hingga siswa dan orang tua siswa tidak berfungsi semestinya, yaitu menyelenggarakan proses pendidikan untuk mencetak pribadi cerdas tetapi santun berperilaku dan berakhlak baik. “Agar tak terus berulang, jelas harus diterapkan sanksi tegas bagi pelaku tindak criminal. Langkah jangka panjangnya, harus ada pencerahan kepada orang tua dan guru untuk memperbaiki sistem pendidikan di rumah dan di sekolah,” kata Arief.[3]

Langkah tegas menghadapi aksi tawuran perlu segera dilakukan. Pembiaran terus-menerus terhadap tawuran dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran dapat makin membudayakan tawuran. Peran orang tua, penyelenggara pendidikan, dan semua lapisan masyarakat untuk mengarahkan anak guna menguatkan karakter luhur dan bagian otak yang membuat mereka jadi manusia utuh secara emosi, cerdas, tak mudah marah, tak takut, dan tak terlecehkan. Pendidikan karakter di dalam lingkungan sekolah juga perlu diperhatikan. Jangan sampai pendidikan hanya sebatas ilmu pengetahuan dan melalaikan pembentukan karakter siswa. Jika sejak kecil anak sudah diajarkan untuk memaafkan dan tidak membalas, tentu ketika besar nanti anak akan bersikap demikian. Lagi-lagi disini peran guru sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai keluhuran bagi anak didiknya.

Saran saya, mungkin ada baiknya jika semua murid SMP dan SMA dibuatkan asrama seperti pondok pesantren dimana mereka dibina di dalam lingkup asrama sehingga tidak memungkinkan mereka untuk melakukan tawuran lagi. Sebagaimana data yang terungkap bahwa minim sekali tawuran yang terjadi di kalangan santri pesantren. Mereka dijaga ketat dalam lingkup asrama dan dibuat sibuk sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal remeh-temeh seperti tawuran. Di samping itu, mereka juga dibina akhlak dan moralnya selama 24 jam di bawah pengawasan guru dan kyai mereka. Selain itu, solusi lain yang bisa saya sarankan adalah peningkatan pembinaan rohani di kalangan anak SMP dan SMA. Karena, umur-umur mereka adalah usia transisi yang rentan terhadap pengaruh luar. Mereka cenderung labil dan masih belum berpendirian. Sekolah seharusnya merangkul anak didiknya dengan baik, yakni melalui kegiatan rohani islam (rohis), rohani Kristen (rokris), dan pembinaan agama lainnya sesuai agama yang dianut masing-masing anak. Akan tetapi, bagaimanapun solusi yang ditawarkan namun tanpa dukungan semua pihak, tentulah hanya jadi wacana tanpa aksi. Semua pihak wajib bertanggung jawab terhadap generasi muda.

Tawuran antar pelajar yang terjadi saat ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai bentuk kenakalan remaja biasa, tapi lebih mengarah pada tindak kejahatan. Tawuran atas dasar balas dendam atau sebagai ajang gagah-gagahan ini perlu diputus mata rantainya agar tidak ada lagi remaja yang mati konyol. Solusi yang saya tawarkan sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, yaitu pengadaan asrama, peningkatan bimbingan rohani, dan pembentukan karakter. Mereka adalah aset berharga yang harus kita jaga. Mereka adalah calon pemimpin dunia di masa yang akan datang. Jika mudanya saja sudah dengan mudah angkat senjata, bukan untuk melawan penjajah, tapi melawan saudara seperjuangan, bagaimana cerminan pemimpin masa depan kita kelak?




[1] Harian Kompas (28/9)
[2] Harian Kompas (16/9)
[3] Harian Kompas (30/9)






 

About Me

Foto saya
Holaa! Let me introduce myself. I'm Devy Cahyo Puspita Ningrum, but you can call me "Haura" . Nice to know you (^^)v

Pages

Di mata Allah Yang Maha Bijaksana,
tak ada satu pun yg terbuang percuma
Jgn takut akan kekuranganmu!
Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun
akan menjadi sarana keindahan Tuhan
Ketahuilah, di dalam kelemahan kita
terdapat sebuah kekuatan yg tak terduga .
smangadh!!
:)

Search here..

Mutiara Kalam

Hati adalah wadah. Sebaik-baik wadah adalah yang mau mendengarkan kebaikan (Al-Imam Ali bin Abi Thalib)

Followers

Labels