Dr Mafri Amir, M. A Dosen Tafsir UIN Jakarta: "Kerja Keras Pantang Menyerah"

Menjadi seorang pengajar yang senantiasa mendedikasikan ilmunya untuk orang lain adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Semakin banyak memberi, maka semakin banyak pula kita menerima. Prinsip demikian tentu sangat baik untuk diterapkan dalam diri setiap pengajar. Seorang dosen merupakan pengajar yang ilmunya harus mumpuni dan dihormati oleh mahasiswanya. Ia menjadi teladan bagi mahasiswa. Bagaimana rasanya menjadi dosen? Berikut wawancara Devy Cahyo Puspita dengan dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Dr Mafri Amir, M. A di ruang kelas 5.14, Kamis (11/10). 

Bagaimana perjalanan hidup Anda hingga akhirnya memutuskan menjadi dosen?

Perjalanan hidup saya sangat berliku dan panjang. Awalnya, setelah tamat pondok pesantren bapak saya memutuskan agar saya tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena tidak ada biaya. Karena itu, lulus dari pondok, saya sempat ke ladang selama satu tahun. Saking inginnya saya kuliah, setiap hari saya mencangkul sambil menangis. Sampai suatu hari, teman saya dari pondok datang dan mengajak saya daftar kuliah. Saya bilang, “kita nggak punya duit.” Dia bilang, “daftar aja dulu, nanti kalau sudah lulus mau langsung kuliah atau tidak itu persoalan kedua.” Akhirnya kami daftar kuliah dan lulus seleksi. Kawan saya itu tidak jadi kuliah karena dipaksa orang tuanya melanjutkan bisnis keluarganya. Sedangkan saya akhirnya tetap kuliah dengan modal menjual mesin jahit dan berhutang dengan jaminan sawah. Kemudian sambil kuliah saya ngajar ngaji ke masjid dan rumah-rumah. Bahkan, saya menginap di masjid selama kuliah di IAIN Imam Bonjol, Padang. Lalu saya ikut kursus jurnalistik dan langsung jadi wartawan. Setelah 15 tahun bergelut di dunia jurnalistik, kemudian saya banting setir menjadi dosen.

Wah, Anda pernah jadi wartawan?
Iya, saya pernah jadi wartawan dari tahun 1979-1994. Saya sempat menjadi wartawan di harian Semangat dan majalah Pandji Masyarakat milik Buya Hamka. Awalnya ketika bapak saya tahu saya jadi wartawan, beliau marah. Orang tua ingin saya jadi mubaligh. Kemudian saya bilang saja, jadi wartawan sama mubaligh sama-sama berdakwah. Kalau mubaligh lewat mulut dan hanya di mimbar saja, beda sama wartawan yang berdakwah lewat tulisan. Tulisannya bisa dibaca jutaan orang, bahkan ribuan. Akhirnya bapak saya setuju dan mendukung.

Pengalaman apa saja yang Anda dapat selama jadi wartawan?  
Wah, banyak sekali. Saya sering dikirim liputan ke luar negeri, ke Asia Tenggara. Saya bertemu banyak orang hebat dan mendapat banyak pengalaman. Sekarang banyak teman-teman saya yang dulu di dunia jurnalistik, mereka jadi orang hebat, pemimpin media-media di Sumatera Barat, kerja di media TV, koran, dan majalah.

Kemudian apa yang menyebabkan Anda berpindah profesi dari seorang wartawan menjadi dosen?
 Karena panggilan hati. Dosen kan pekerjaan yang mulia. Saya ingin mengawinkan keterampilan jurnalistik yang saya miliki dengan akademik yang ada di dosen. Dengan itu, saya bisa menulis banyak buku dan menyampaikan ilmu yang saya punya kepada anak murid saya. Pahalanya akan terus mengalir.

Buku apa saja yang sudah Anda tulis? 
Buku pertama saya judulnya Etika Komunikasi dalam Pandangan Islam, terus ada juga yang judulnya Suluh Melayu. Ada sekitar delapan buku, tapi saya lupa judulnya. Buku terakhir saya berjudul Literatur Tafsir Indonesia.

Bagaimana rasanya menjadi dosen?
Saya merasa sangat beruntung menjadi dosen. Di satu sisi saya membagi ilmu saya, tapi ilmu saya juga terus bertambah. Berkah sekali rasanya. Menjadi dosen kita bertemu dengan berbagai mahasiswa dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, banyak mahasiswa yang kritis bertanya sehingga membuat dosen juga harus semakin banyak belajar. Sebagai dosen, kita harus banyak bergaul dengan mahasiswa, jangan sampai membuat mahasiswa itu jenuh, nanti ilmu kita tidak sampai ke mereka. Selain itu jadi dosen juga waktunya longgar, beda dengan pegawai kantoran yang harus masuk setiap hari. Enak deh pokoknya jadi dosen itu!

Selain jadi dosen, apa kegiatan Anda lainnya? 
Selain dosen, saya pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang kerukunan antarumat beragam, pengurus forum Islamic Center Indonesia (ICI), pembina kesenian etnik Minang di Jakarta, dan anggota paguyuban warga Minangkabau.

Ternyata banyak sekali ya kegiatan Anda. Bagaimana caranya membagi waktu dengan keluarga? 
Tentu keluarga yang utama bagi saya. Akhir pekan adalah wktu saya untuk berkumpul dengan istri dan anak saya yang paling bontot. Anak pertama saya, Ahmad Zaki, sudah berkeluarga dan tinggal di Bekasi. Anak kedua saya, Rifa, sedang menyelesaikan kuliah S2 di Malaysia. Jadi saya tinggal bertiga dengan istri dan anak ketiga saya, Shofi. Dia masih kuliah S1 di UIN, jurusan perbankan syari’ah.

Apa harapan Anda ke depan? 
Harapan saya sekarang tinggal anak-anak saya. Bagaimanapun saya ingin mereka seperti bapaknya menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ilmu itu sangat penting. Tanpa ilmu, kita bukan siapa-siapa.

Apa motto hidup Anda? 
Kerja keras, usaha terus pantang menyerah. Masalah hasil belakangan, yang tepenting kita harus terus berjuang, terutama di jalan dakwah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About Me

Foto saya
Holaa! Let me introduce myself. I'm Devy Cahyo Puspita Ningrum, but you can call me "Haura" . Nice to know you (^^)v

Pages

Di mata Allah Yang Maha Bijaksana,
tak ada satu pun yg terbuang percuma
Jgn takut akan kekuranganmu!
Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun
akan menjadi sarana keindahan Tuhan
Ketahuilah, di dalam kelemahan kita
terdapat sebuah kekuatan yg tak terduga .
smangadh!!
:)

Search here..

Mutiara Kalam

Hati adalah wadah. Sebaik-baik wadah adalah yang mau mendengarkan kebaikan (Al-Imam Ali bin Abi Thalib)

Followers

Labels