0
Comments
Tawuran Pelajar, Potret Buram Pendidikan
Dalam kurun waktu satu bulan, dua nyawa meregang sia-sia akibat tawuran antar pelajar. Harian-harian ibukota ramai menjadikan kasus ini sebagai headline sehingga masyarakat pun menjadikannya sebagai agenda publik yang kerap dibicarakan dalam keseharian. Alawy Yusianto Putra (15) siswa SMA Negeri 6 Jakarta Selatan dan Deni Januar (17) siswa SMA Yayasan Karya 66 Jakarta Timur, dua pelajar yang harus menjadi korban tawuran dan merelakan masa depannya hilang begitu saja. Bahkan, berdasarkan data Kompas, sepanjang tahun 2012 sudah ada 18 kasus perkelahian di kalangan pelajar di Jabodetabek yang mengakibatkan korban luka ataupun tewas. Miris! Mereka yang berseragam sekolah dan mengenyam bangku pendidikan justru terlibat aksi kekerasan yang sama sekali tidak bermoral. Jika zaman dulu para pelajar kompak mengangkat senjata bersama dengan aparat keamanan demi melawan penjajah, kini para pelajar justru mengangkat senjata untuk melawan sesama pelajar dan aparat keamanan. Mereka tak segan dan tak ragu melukai lawannya. Kejadian demikian tentu tidak masuk akal dan sulit dianalisis penyebabnya. Teknologi yang kian hari kian maju tak jadi jaminan masyarakatnya kian berkembang. Yang terlihat di lapangan, terutama di kalangan pelajar, kemajuan zaman justru menyebabkan mereka kian primitif dan kerdil dalam hal pengelolaan emosi.
Menurut saya, maraknya kasus tawuran yang berujung pada kematian ini merupakan bentuk kegagalan berbagai pihak, terutama penyelenggara pendidikan. Kegagalan orang tua dalam membina dan membentuk karakter anak, kegagalan sekolah untuk mendidik anak muridnya, kegagalan dinas pendidikan sebagai pemegang otoritas. Sistem pendidikan yang ada saat ini terlalu berfokus pada pelajaran-pelajaran umum, sementara pendidikan karakter dan pelajaran agama sangat minim. Ditambah lagi sekarang sudah masuk era globalisasi. Dengan adanya internet, muncul istilah global village. Tidak ada lagi batasan antar daerah, ataupun negara, semua terhubung menjadi satu. Beragam budaya dan informasi bebas bermunculan. Pengaruh positif dan negatif berbaur, semua kembali lagi pada individu yang menyerapnya. Rasanya wajar jika generasi muda yang tidak dididik dengan baik dari kecil, mereka jadi lebih banyak terbawa arus negatif. Selain itu, budaya yang ada di saat ini mengajarkan masyarakat untuk hidup matrealistis dan hedonis. Kesuksesan dinilai berdasarkan materi, sehingga jiwa-jiwa mereka kosong. Tak heran, kekerasan makin berkembang.
Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menyatakan, lingkungan dari rumah hingga sekolah memberikan andil terhadap perilaku anak. Remaja butuh diakui, beraktualisasi, mereka mencari tempat, dan itu bisa positif ataupun negatif, tergantung dari lingkungan.[1]
Sebagaimana diungkapkan psikolog forensik Arif Nurcahyo, terdapat dua perspektif dalam tawuran, yakni perspektif psikologi remaja dan psikologi massa. Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional, dan tindakan sugestif.[2]
Pendidik Arief Rachman sebagaimana dilansir pada harian Kompas, menyatakan, penyebab tawuran, antara lain pelaku atau anak yang terlibat memang anggota kelompok atau geng, tidak ada lahan untuk aktualisasi diri, dan tradisi buruk yang terus diturunkan. Ini terjadi karena manajemen sekolah mulai dari kepala sekolah, guru, komita sekolah, hingga siswa dan orang tua siswa tidak berfungsi semestinya, yaitu menyelenggarakan proses pendidikan untuk mencetak pribadi cerdas tetapi santun berperilaku dan berakhlak baik. “Agar tak terus berulang, jelas harus diterapkan sanksi tegas bagi pelaku tindak criminal. Langkah jangka panjangnya, harus ada pencerahan kepada orang tua dan guru untuk memperbaiki sistem pendidikan di rumah dan di sekolah,” kata Arief.[3]
Langkah tegas menghadapi aksi tawuran perlu segera dilakukan. Pembiaran terus-menerus terhadap tawuran dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran dapat makin membudayakan tawuran. Peran orang tua, penyelenggara pendidikan, dan semua lapisan masyarakat untuk mengarahkan anak guna menguatkan karakter luhur dan bagian otak yang membuat mereka jadi manusia utuh secara emosi, cerdas, tak mudah marah, tak takut, dan tak terlecehkan. Pendidikan karakter di dalam lingkungan sekolah juga perlu diperhatikan. Jangan sampai pendidikan hanya sebatas ilmu pengetahuan dan melalaikan pembentukan karakter siswa. Jika sejak kecil anak sudah diajarkan untuk memaafkan dan tidak membalas, tentu ketika besar nanti anak akan bersikap demikian. Lagi-lagi disini peran guru sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai keluhuran bagi anak didiknya.
Saran saya, mungkin ada baiknya jika semua murid SMP dan SMA dibuatkan asrama seperti pondok pesantren dimana mereka dibina di dalam lingkup asrama sehingga tidak memungkinkan mereka untuk melakukan tawuran lagi. Sebagaimana data yang terungkap bahwa minim sekali tawuran yang terjadi di kalangan santri pesantren. Mereka dijaga ketat dalam lingkup asrama dan dibuat sibuk sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal remeh-temeh seperti tawuran. Di samping itu, mereka juga dibina akhlak dan moralnya selama 24 jam di bawah pengawasan guru dan kyai mereka. Selain itu, solusi lain yang bisa saya sarankan adalah peningkatan pembinaan rohani di kalangan anak SMP dan SMA. Karena, umur-umur mereka adalah usia transisi yang rentan terhadap pengaruh luar. Mereka cenderung labil dan masih belum berpendirian. Sekolah seharusnya merangkul anak didiknya dengan baik, yakni melalui kegiatan rohani islam (rohis), rohani Kristen (rokris), dan pembinaan agama lainnya sesuai agama yang dianut masing-masing anak. Akan tetapi, bagaimanapun solusi yang ditawarkan namun tanpa dukungan semua pihak, tentulah hanya jadi wacana tanpa aksi. Semua pihak wajib bertanggung jawab terhadap generasi muda.
Tawuran antar pelajar yang terjadi saat ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai bentuk kenakalan remaja biasa, tapi lebih mengarah pada tindak kejahatan. Tawuran atas dasar balas dendam atau sebagai ajang gagah-gagahan ini perlu diputus mata rantainya agar tidak ada lagi remaja yang mati konyol. Solusi yang saya tawarkan sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, yaitu pengadaan asrama, peningkatan bimbingan rohani, dan pembentukan karakter. Mereka adalah aset berharga yang harus kita jaga. Mereka adalah calon pemimpin dunia di masa yang akan datang. Jika mudanya saja sudah dengan mudah angkat senjata, bukan untuk melawan penjajah, tapi melawan saudara seperjuangan, bagaimana cerminan pemimpin masa depan kita kelak?
[1] Harian Kompas (28/9)
[2] Harian Kompas (16/9)
[3] Harian Kompas (30/9)